Di balik senyummu,
kau pikul beban berat, yang makin mengikat.
Wajar berada,
santai bersiul, tanpa pernah senyum terlipat.
Tak berhenti, melangkah maju,
meniti jalan berbatu.
Menggali demi segenggam emas,
Memetik demi sepikul kapas.
Semuanya,
demi senyum bahagia, anak istri tercinta.
Seringkali terlupa oleh kami,
perjuanganmu yang tak terhina.
Yang umpama laksamana mendaki ombak,
takkan tergoyahkan dan menjumpa rana.
Di balik kerasnya fisikmu,
tersimpan hangat kasihmu.
Betapa durhakanya anakmu,
tak pernah sebabkan dendammu.
Sering terabaikan guratan keriputmu,
yang mengukir sejarah di wajah tuamu.
Berpeluh,
berdarah.
Cemas hati akan keluarga di rumah.
Dan akhirnya,
hanya sebait doa yang dapat ku kirimkan,
demi selamat, dan tenangmu dalam aman,
yang akan mengantar dirimu,
Padaku.
Terima kasih,
Ayah!
kau pikul beban berat, yang makin mengikat.
Wajar berada,
santai bersiul, tanpa pernah senyum terlipat.
Tak berhenti, melangkah maju,
meniti jalan berbatu.
Menggali demi segenggam emas,
Memetik demi sepikul kapas.
Semuanya,
demi senyum bahagia, anak istri tercinta.
Seringkali terlupa oleh kami,
perjuanganmu yang tak terhina.
Yang umpama laksamana mendaki ombak,
takkan tergoyahkan dan menjumpa rana.
Di balik kerasnya fisikmu,
tersimpan hangat kasihmu.
Betapa durhakanya anakmu,
tak pernah sebabkan dendammu.
Sering terabaikan guratan keriputmu,
yang mengukir sejarah di wajah tuamu.
Berpeluh,
berdarah.
Cemas hati akan keluarga di rumah.
Dan akhirnya,
hanya sebait doa yang dapat ku kirimkan,
demi selamat, dan tenangmu dalam aman,
yang akan mengantar dirimu,
Padaku.
Terima kasih,
Ayah!
#RuangKosong