Monday, December 15, 2014

Hari ini Lima Puluh Tahun Lalu.

15 Desember 2014

Pada hari ini Lima Puluh Tahun Lalu,
seseorang lahir.
Dunia tak tahu, memang.
Iya, ku akui itu.

Dunia tak tahu.
Dan tak akan pernah tahu,
atau lebih tepatnya, dunia tidak perlu tahu.

Dunia takkan kekurangan apapun,
bila tak ada dia.
Memang.

Tapi duniaku,
takkan pernah ada tanpa hadirnya.

Malam mengakrabi dirinya.
Seumpama Jarum Menit dengan Jarum Jam.
Bekerja,
dari dhuha hingga ayam berkokok.
Tak beristirahat.
Tak pernah lelah.
Tak pernah berhenti merokok.
Kuat,
tapi rapuh.

Perkenalanku dengannya,
hanyalah seperti daun teratai.
Tak luas,
dan tak pula kuat menopang.

Ia kenalkanku pada malam,
yang akhirnya ku puja.
Lantas, malam pulalah yang menjemputnya.

Pada akhirnya,
semuanya akan sama.
Malam merindukan suasana sunyi.
Tanpa hadirnya,
orang-orang pengganggu.
Hening.
Tenang.
Tak terganggu.

Tak terlalu baik pula ia terjemput.
Menyisakan beban, menjauhkan hati.
Dan akan selalu berakhir sama,
hal yang dirindukan akan diambil segera.

Orang perkasa itu dijemput oleh fajar.
Hal yang sekian lama dihindarinya.
Justru berbalik menemuinya.

Mataku kosong saat itu.
Tapi, tak mengapa.
Itu tak berpengaruh bagiku.

Semoga kau selalu baik,
Pak Tua.

In memoriam,
quelqu'un qui reflète la lune.
Jumari Angga Adhi Chandra.



Tuesday, December 9, 2014

Elegi Orang Tua - Senja Renungan

Apakah kau pernah bersyukur,
disamping mengeluh,
tentang betapa kakunya orang tuamu?
Pernahkah kau menyeka,
keringat letih Ayahmu setelah bekerja?

Yang rela mati untukmu.
Yang menangis di belakang wajahmu,
agak tak malu dirimu karenanya.
Yang tetap tersenyum,
mengabaikan betapa mengesalkannya dirimu,
saat meminta ini-itu?

Berapa kali kau menangis memohonkan ampun untuknya?
Pantaskah kau meninggikan nada bicaramu padanya?
Dengan alasan bahwa ia galak memarahimu,
kau bantah segala ucapannya.

Padahal,
ia selalu menangis menyalahkan diri sendiri,
setelah memarahimu.
"Mengapa aku marahi anakku?"
Itulah pertanyaan dalam pikirannya.
Pernahkah kau sadar,
berapa kali kau menyakiti hati orang tuamu?

Sebelum terlambat,
datanglah padanya.
Mintalah maaf dan ridhanya.
Sebab aku kesal,
karena kalian tak tahu diri,
Menyia-nyiakan waktu bakti kalian pada Orang Tua.

Teruntuk Almarhum Ayah,
Terima kasih sudah mau mengenalkanku pada dunia yang rusak ini.
Ibu,
Terima kasih, atas kesediaanmu membesarkanku menjadi seperti ini,
dan bertahan sekian lama bersama Ayah.

9 Desember.
at Ruang Kosong.



Elegi Orang Tua - Siang Bergejolak

Apa kabar Ayah, wahai Tuhanku?

Dahulu,
engkau kirimkan ia,
pada Ibuku yang gadis.

Aku.
Akulah yang  teranggap sebagai anak mereka.
Tapi,
bila dosa terus mengalir pada Ayahku,
dan duka nestapa menghentak Ibuku,
alangkah baiknya, engkau tak pernah mengijinkanku,
untuk lahir, wahai Tuhanku.

Hinaku,
tanpa saudara bagiku.
Menghitamkan mataku yang telah sayu.
Angkara,
Ingin ku tebas kepalanya dengan kayu.

Lantas,
aku akan menjadi Ayah bagi anakku kelak.
Tapi bagaimana nanti?
Seorang pastilah meniru,
apa yang Ayahnya perbuat.
Sedangkan aku?
Dimana Ayahku?

Mungkin semua ini,
hanyalah karena aku iri padamu.
Kau bahagia, aku berduka.
Kau tertawa, aku sengsara.
Namun, tahukah kalian?
Mengapa aku berkata begini?

Bagian ketiga
Elegi Orang Tua - Senja Renungan


Elegi Orang Tua - Pagi Beranjak

Aku dipukul.
Sakit.
Lantas aku menangis.
Tapi, aku tidak menangis,
karena sakitnya pukulan.

Tak ada Ayah.

Itu lebih menyakitkan dari pukulan.
Tak ada yang berdiri membelaku.
Tak ada yang membantuku,
memperbaiki apa salahku.
Tak ada yang meyakinkanku,
atas apa yang ada dalam pikiranku.
Dimana Ayah?

Hanya Ibu seorang.
Matahariku,
yang mulai redup terkikis angin.
Manusia paling perkasa.
Pelindungku.
Bermental baja berbalut beludru.

Duhai tuan,
bilakah kau tahu apa,
yang dirasa Ibu,
ku yakin,
kau pun pasti akan menangis tersedu.

Ya Allah, Tuhanku.
Bila saja Engkau bermaksud,
menukar Ibu menjadi riang gembira,
tolong lakukanlah.
Cantik wajahnya,
mulai tergurat hempasan ombak nestapa.

Terlalu terbebani hidupnya, wahai Tuhanku.
Olehku,
yang lahir berujung sedihnya.

Bagian kedua:
Elegi Orang Tua - Siang Bergejolak 



Lapar

Lapar.
Ketika harimau dalam perutku,
berteriak minta daging.
Daging.
Daging?
Itu bukan untukku.
Itu barang mewah.
Hanya bangsawan,
yang biasa menikmatinya.

Cambuk.
Cambuk Raja.
Aku takut dicambuk Raja.
Tidak.
Aku tidak takut Raja.
Aku hanya takut,
bila tubuhku yang bagus ini,
terjelekkan oleh bekas cambuk Raja.

Dan akhirnya,
disinilah aku.
Tak berdaya melawan kesombonganku.
Lapar,
tak berani makan.
Ingin makan,
takut dicambuk Raja.
Demi pujaan,
ku korbankan hidupku.

Bodoh?
Memang.
Memangnya itu aku?
Lihat dirimu, bodoh.

Tidak berdaya menghadapi tekanan atasan.
#KebanyakanOrangNegeriIni

#nugt, pray.

Tuhanku,
Allah.
Aku takut akan hal buruk,
yang mungkin akan menimpanya.
Aku takut atas kuasa jahat,
yang mencoba melawan perlindunganmu.
Tolong aku,
wahai Tuhanku,
yang mencipta dan menguasai bumi dan langit,
beserta segala isinya.

Jagalah ia,
Kumohon.

8 Dec.
 at Ruang Kosong.
Panik setelah menyadari kemungkinan terburuk.

#nugt, part 3 - sajak petarung

Amboi.
Mataku tersisa lima watt.
Tak paham sebabku,
masih bisa bertahan.

Kemarin, 
kulihat rembulan duduk,
di atas kursi merah.
Kau terang,
dan membuat tenang.
Itulah dirimu apa adanya.

Awalnya tak kusangka, memang,
namun melihatmu sebegitu dekatnya,
membuat hatiku terbang.

Jiwaku meremang,
hanya karena berada di dekatmu,
yang berbalut nuansa muda.
Karenanya,
seuntai doaku, selalu kukirimkan untukmu.

Tanpa sadar, aku terpaku, 
dan terpukau oleh dirimu.

Wajahmu, yang sehalus awan.
Pandanganmu, yang seteduh sinar bulan.
Pribadimu, yang melukiskan anak perawan.

Namun, yang menarik hatiku bukanlah hal-hal itu.
Sebab aku jatuh padamu,
kuatnya Agamamu,
Yang laksana Kerajaan Tak Terlawan.

8 Dec.
Tertahan, Tak Terlukis.
Itulah perasaanku padamu.
Akankah kau tahu bagaimana perasaanku padamu, Bella?

#nugt, part 2 - ruang kosong

Aku melihatmu.
Jelas,
seperti cerahnya matahari di ufuk timur.
Tampak berkilau,
laksana zamrud yang tersimpan,
di kantung pedagang Cina.

Aku disini,
hanya diam.
Terbayang dirimu,
yang melenggang anggun disana.
Dan akhirnya,
semua hadirin ini, 
kuabaikan.

Rasanya hanya aku yang duduk disini,
dan dirimu yang duduk disana.
Kita ada disini,
bagai di ruang kosong.
Karena,
hanya kita disini.
Ya,
hanya kita. 

at Ruang Kosong
Sebuah tempat imajiner milikku seorang.

Akankah kau tahu bagaimana perasaanku padamu, Bella?

Sunday, December 7, 2014

Rasis

Aku terjebak.
Duhai durjana.

Sempit,
Sesak.
Terjebak di antara Aborigin, Tiong, Batak,
Sunda, Jawa, bahkan Timur dan Barat.

Tak ada Malay.
Kenapa? 
Tak tahulah.
Masa bodoh.
Kawanku seorang Malay,
pergi menghadap Tuhan.
Umrah jauh di ujung mata.

Tak ada pula Arya.
Padahal, ada kerabatku seorang Pashtun,
namun ia bercakap perkataan Arya.
Tapi bagaimanapun jua,
nestapa tak mempertemukanku dengan Arya.

Hanya Mongol,
dari ujung mata ke mata.
Kawanku.

Terutama kau, wahai seribuku.

Tuesday, December 2, 2014

A

Entah mengapa,
aku tertarik padamu.

Tertarik pada halusnya senyummu yang terkembang.
Tertarik pada sintalnya tubuhmu yang terpampang.
Tertarik pada kerlingan matamu yang menggoda.

Seharusnya aku tidak tertarik padamu sejauh ini.
Lihat saja,
bahkan perbedaan di antara kita sanggup menumbuhkan seorang remaja.
Kau sudah tertempa, aku baru tercetak.
Kau sudah mengangkasa, aku baru merangkak bumi.
Entah mengapa, wahai Anti.


Padahal,
dalam dirimu kulihat refleksi ibuku.

Catatan pinggir yang wajar untuk dilupakan.
1 Des 14.