Friday, February 27, 2015

Renungan Ujian Nasional.

Kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional.

Apakah benar ini kecurangan?
Menurut saya bukan.

Sistem pendidikan negara inilah yang aneh.

Coba bayangkan, (dalam hal ini sekolah menengah atas / SMA) seluruh siswa di tuntut untuk menguasai SELURUH pelajaran. Siswa yang berada dalam program IPA diwajibkan untuk menguasai SELURUH pelajaran yang berkaitan dengan IPA. Demikian dengan siswa yang berada dalam program IPS, juga diwajibkan untuk menguasai SELURUH pelajaran yang berkaitan dengan Pelajaran-pelajaran IPS, dan juga seterusnya.

Apa hal ini wajar? Apakah siswa sanggup untuk 'melahap' seluruh materi yang ada?
Belum tentu.

Karena hal ini pula, standar ukuran anak baik dan anak nakal pun berubah. Terutama di sekolah.
Anak baik adalah anak yang rajin masuk sekolah, selalu mengerjakan tugas, tidak pernah membolos, nilai selalu tinggi, bla...bla...bla...
Hal ini berbanding terbalik dengan anak nakal. Yah, tak perlulah disebutkan kriterianya.

Padahal, belum tentu semua anak sanggup mengerjakan pekerjaan rumahnya sendirian. Belum tentu semua anak bisa belajar sendiri. Belum tentu juga semua orang tua sempat untuk menemani anaknya belajar. Dan belum tentu juga semua siswa sanggup untuk bertahan dengan bimbingan belajar, dan lainnya.

Kembali lagi ke pelajaran. Coba bayangkan seorang pelajar IPS biasa, yang harus menghafal seluruh teori-teori Ekonomi yang ada. Padahal, pelajaran Ekonomi adalah rangkuman dari pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh Ekonomi di seluruh dunia. Ada ratusan ahli Ekonomi yang ada di dunia. Belum lagi si anak ini menghafalkan teori Sosiologi dan lainnya.

Itu pun baru dari pelajaran IPS. Belum lagi seorang Pelajar IPA yang harus tetap memikirkan kehidupannya dan masalah yang menerpa. Padahal masalah-masalah yang dialami belum tentu berkaitan dengan dunia sekolahnya. Ia masih harus disibukkan dengan Hafalan Tabel Periodik Kimia yang belum ia hafal, PR Fisika yang belum selesai, Praktikum Biologi yang masih menggantung, dan masih banyak hal lainnya yang HANYA berhubungan dengan sekolahnya.

Masalah yang lainnya adalah waktu belajar.
Mari kita hitung, andaikata ada 40 materi/bab dalam satu pelajaran. Ambil contoh setiap siswa sudah menguasai 30 Materi dengan sempurna. Sisanya harus ia kuasai sendiri karena ia sakit, atau lupa, dan lain-lain.\

Bila dihitung kasar, untuk mempelajari materi yang 10 ini, 10 menit adalah waktu untuk satu materi. Lalu dikali dua karena ada dua pelajaran UN dalam satu hari.

Maka:

10 Materi X 10 Menit = 100 Menit
100 Menit X 2 Mata Pelajaran = 200 Menit / 3 Jam lebih.

Bayangkan.
Setiap malam menjelang UN, seorang siswa harus menggunakan 3 Jam lebih hanya untuk mempelajari pelajaran yang belum ia kuasai. Belum lagi ia harus mengulas kembali pelajaran yang telah ia kuasai betul.

Hal-hal di atas pun baru seputar mata pelajaran yang diujikan pada Ujian Nasional SAJA. Belum termasuk pelajaran muatan lokal dan lainnya.

Hal-hal seperti ini tentu menciptakan tekanan bagi para pelajar, sehingga timbul niatan untuk 'mencari jalan lain'. Maka terjadilah pelanggaran-pelanggaran yang ada.

Seharusnya, pendidikan SMA diatur seperti Universitas saja, dimana setiap siswa bebas untuk menentukan pelajaran mana yang akan ia ambil. Apakah ia meminati pelajaran tersebut, ataukah tidak.

Sebagai renungan, seorang guru Fisika yang notabene mengajar setiap hari, mengaplikasikannya pada proses pengajaran yang ada, tentu seharusnya menguasai seluruh pelajaran. Tetapi, jamak ditemui guru pengajar lupa terhadap salah satu materi, bahkan menemui kebuntuan dalam mengerjakan soal tertentu.

Apalagi pelajar yang dituntut untuk menguasai SEMUANYA?

Tidak rasional.

0 Comments:

Post a Comment