Malam ini langit menangis, pak.
Benar-benar menangis.
Ini tangisan keras pertamanya sejak beberapa bulan.
Yang karenanya, aku benar-benar merindunya menangis.
Wajahku memang masih menatap layar,
namun hati ini pergi,
jauh menembus deraian air mata langit.
Kerasnya suaranya yang menghempas atap,
tidak lantas menjadikan pusing kepala, pekak telinga, karenanya.
Sebaliknya,
justru pemikiran demi pemikiran silih berganti bermain dengan isi kepala.
Memang tak bersuara, mulut ini.
Memang.
Tapi andai kau di sini, kawan,
mungkin kau bisa mendengar deruan gemuruh hati yang mengerjai tubuh ini.
Bahkan pendingin udara terasa seperti menghembuskan udara panas.
Bahkan ruangan benderang pun terasa gulita.
Bahkan beramai-ramai pun terasa seperti tak ada.
Tentu aku masih sering bertanya pada mereka, sang rintik.
Mengapa mereka masih pasrah saja,
jatuh ke bumi,
menerjangnya beramai-ramai,
tanpa ada daya usaha untuk bergerak lebih jauh.
Mereka berteriak riang menjawab,
Kev! Lama tak melihatmu, kawan!
Kami memang pasrah dijatuhkan.
Memang kami tidak berdaya dijatuhkan beramai menghantam bumi.
Tapi apa guna melawan?
Toh kami hanya melaksanakan perintah dari atas sana.
Mendinginkan kepala dan hati manusia sepertimu dari sibuknya kehidupan dunia.
Tapi masih saja mereka lupa,
dan malah mengutuk kami, sang rintik.
Dan kemudian, mereka menyatu dengan kawan mereka yang telah jatuh lebih dulu.
melaksanakan perintah dari atas sana.
Seberapa baik aku melaksanakan perintah-Nya?
Aku yang dititipi kekuatan justru menggunakannya untuk hal lain.
Sedangkan mereka, sang rintik, yang kekuatan individualnya tak berasa dan tak berarti,
justru bisa menghancurkan batu terkeras sekalipun bila beramai-ramai dan terus menerus?
Ah.
Memang hanya aku yang terlalu mudah menyerah.
Memang hanya aku yang tak pandai melaksanakan perintah-Nya.
Apa guna melawan?
Memang, pak.
Kau tentu kesal membaca tulisan ini.
Sama seperti diriku.
#RuangKosong